50 tahun Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa tanamkan benih dakwah Islam di Belanda

0

Sebuah potret sejarah, idealisme, dan perjalanan organisasi masyarakat Muslim Indonesia di Belanda.

Kepedihan hati ditinggal seorang ibu di dunia ini menyebabkan kita memikirkan tentang asal-usul kita dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Setelah meninggalnya ibu saya akhir Januari lalu, saya bersama kakak perempuan saya mulai menggali dunia arsip pribadi orang tua kami (bapak sudah sejak 2005 meninggal dunia). Dokumentasi-dokumentasi inilah yang menjadi pengganti wujud keberadaan mereka. Namun, apakah makna dan kebijakan yang bisa kami temukan di balik tinta hitam di atas kertas-kertas putih ini?

Ternyata kertas-kertas ini menyimpan kekayaan sejarah perjalanan dan perjuangan keberadaan masyarakat Muslim Indonesia di Belanda di mana kedua orang tua saya juga mengambil peran. Sejak sekitar tahun 70-an, kontribusi mereka sangat berarti dalam mewujudkan komunitas Muslim yang sesuai aspirasi bangsa Indonesia. Ayah saya, Mochammad Chaeron, lulusan UGM jurusan Publisistik dan mantan wartawan Koran Abadi, datang ke Belanda dengan niat ‘berpetualang’. Inilah jawaban yang diberikan oleh ayah saat ditanya tentang alasan beliau ke negeri kincir ini. Rupanya, ayah saya terdorong untuk mengenal negara bekas penjajah ini dari hasil surat-menyurat dengan Pak Mohammad Natsir. Beliau merupakan tokoh bangsa Indonesia serta mantan Menteri Penerangan RI tahun 1948 yang dikenal sebagai ‘Menteri berkemeja tambalan’.

Persatuan Muslim Indonesia di Belanda

Pak Natsir adalah sosok negarawan, mantan Perdana Menteri pertama Indonesia yang berprinsip bahwa negara harus diurus bersama. Sesuai kutipan dari wawancaranya dengan Majalah Editor 1988, beliau mengatakan, “Untuk kepentingan bangsa, politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita”[1]. Prinsip Pak Natsir inilah yang menggerakkan ayah bermusyawarah bersama kawan-kawan perantau dari seluruh pelosok Nusantara untuk membentuk wadah dakwah bagi masyarakat Muslim Indonesia di Belanda yang menjunjung nilai persatuan.

Dua puluh anggota musyawarah yang semuanya terdiri dari para pelajar dan pemuda, salah satunya Abdurrachman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden RI ke-4, hadir di Den Haag pada tanggal 12 April 1971 untuk melahirkan organisasi Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME). PPME menitikberatkan masyarakat Muslim di Eropa yang bersatu dengan aspirasi dakwah. Sejak itu PPME menambah komunitas Muslim asing di Belanda di samping komunitas dari Turki, Maroko, Suriname, dan Pakistan.

Setelah PPME disahkan oleh Ratu Juliana di tahun 1974, kegiatan-kegiatan sosialisasi pun mulai padat. Kerja sama dengan komunitas-komunitas Muslim di Belanda pun terjalin. PPME juga melebarkan jaringannya ke luar negeri. Nama PPME dikenal di banyak negara Eropa dan pembentukannya memberikan aspirasi kepada masyarakat Muslim di Jerman, Inggris, Perancis bahkan Suriname. Saat itu, PPME dijadikan organisasi teladan di mana negara-negara lain ingin mengikuti jejaknya, hingga PPME diresmikan menjadi organisasi ‘Dewan Pimpinan Pusat’.

Kegiatan inti PPME adalah melayani dakwah dan tanggungjawab serta tugas-tugas menyangkut kemasyarakatan umat Islam. Selain acara-acara keagamaan seperti kegiatan di hari-hari besar Islam, pernikahan agama dan mengurusi jenazah, PPME juga menjalin hubungan dengan organisasi Islam di dunia seperti: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muktamar Alam Islami di Pakistan, Rabita Alam Islami Mekkah di Saudi Arabia, Moslim Student Association (MSA) di Amerika Serikat dan Canada, dan The Federation of Islamic Association (FIA) di Amerika Serikat. Khususnya di Eropa, PPME menjalin hubungan dengan Islamische Studentengemeinde (ISG) di Jerman Barat, United Muslim Student Organisation (UMSO), Islamic Centre Geneve di Swiss, Bilal Mosche di Jerman dan masih banyak lagi.

Di tahun 1973 PPME diundang untuk menghadiri konferensi Pemuda Muslim sedunia di Tripoli (Lybia). Konferensi ini dihadiri kurang lebih oleh 500 pimpinan pemuda Islam dari seluruh pelosok dunia. Selanjutnya perwakilan PPME meneruskan ekspedisinya ke Beirut, Cairo, dan Madinah untuk menemui para pakar PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) dan masyarakat Indonesia.

PPME juga menerbitkan majalah/buletin yang berisi tulisan-tulisan perihal keislaman di Indonesia, Belanda dan Eropa. Majalah pertama yang diterbitkan diberikan nama “Al Falaah”. Nama tersebut diprakarsai oleh salah satu anggota bernama A. Dony setelah mendengar adzan yang dikumandangkan oleh Abdurrachman Wahid. “Haiyya’lal salaah…Haiyya’lal falaah” yang artinya setelah salaat perjuangan untuk kemenangan dapat dibimbing dari Allah.

Sampai saat ini PPME masih mengeluarkan tulisan-tulisan namun kini lebih menjurus kepada digital posting yang banyak beredar lewat dunia maya.

Lima puluh tahun usia PPME, dan saya sebagai salah satu hasil kaderisasi organisasi tersebut bersyukur telah menyaksikan perkembangan dan perjalanan yang pasang-surut. Kini jumlah cabang telah menyebar ke lima kota besar di Belanda dan berhasil meraih jumlah jamaah lebih dari ratusan keluarga.

Perlu dicantumkan bahwa ada kejadian yang menggoyahkan status organisasi saat ada pemecahan PPME di cabang Amsterdam. Setelah saya renungkan, kekeragaman dalam beragama memang harus diterima dan Islam malah cenderung mengajak merayakan perbedaan ini. Namun satu nilai yang harus tetap dipegang teguh yaitu kesatuan persaudaraan antar umat.

Akhir kata, organisasi ini telah berhasil menjaga tali persaudaraan masyarakat Muslim yang penuh makna. Kesediaan waktu dan energi yang telah diberikan oleh para pakar, ibu-ibu, jamaah Al- Mu’minun (cabang PPME yang dijalankan oleh para mualaf Belanda), remaja, anak-anak telah membuahi organisasi Islam yang penuh hikmah. Semoga dengan memegang prinsip kebersamaan sesuai yang diutarakan Mohammad Natsir, PPME tetap akan berkembang menjadi organisasi yang dapat meraih kemenangan dalam menanam benih-benih kepribadian Islam sesuai ajaran agama dan sunnah Rasulullah saw. Aamin.

Informasi lebih lanjut mengenai PPME:

Ppme.nl

Makalah disertasi ilmiah ditulis oleh Sujadi (2017): https://scholarlypublications.universiteitleiden.nl/handle/1887/50645

Arikel media: https://yulianmusyarofah.blogspot.com/

Referensi tulisan:

“Laporan Dewan Pimpinan Pusat PPME pada musyawarah umum I, tanggal 25 – 26 Agustus 1973 bertempat di aula KBRI Den Haag, Nederland” ditulis oleh A. Dony.

Dokumen dan foto-foto arsip pribadi Mochammad Chaeron.


[1] https://www.antaranews.com/berita/972886/111-tahun-pak-natsir-menteri-berkemeja-tambalan

SHARE.
Share.

About Author

In deze tijdperk van globalisering zouden we eigenlijk meer open moeten zijn voor de wereld, zonder te vergeten waar je vandaan komt. Als schrijver bij Belindomag wilt Wati aan de lezers laten zien dat onze toekomst optimist-verantwoord is. De creatieve en levendige culturele wortels van Nederland en Indonesië hebben Wati gevormd en zijn overigens ook de pilaren van onze maatschappij. Wij bepalen de koers van de toekomst op basis van onze gedeelde normen en waarden. “Ik ben Belindo die van de culturele dynamiek tussen Nederland en Indonesië houd, ik koester het respect en saamhorigheid van onze maatschappijen”.

Leave A Reply