Oleh: Wati Chaeron
Bahan pembicaraan dunia yang sering muncul mulai tingkat politik sampai lapisan kemasyarakatan adalah climate change (perubahan iklim) dan pelestarian lingkungan hidup. Keduanya diperbicangkan karena memiliki dampak langsung atas kesehatan dan tingkat kualitas kehidupan kita. Buat Indonesia, sebuah negara agraris yang nilai produk-produknya menjadi urat nadi ekonomi, perubahan iklim memainkan peran yang besar.
Indonesia tidak hanya memiliki lahan yang sangat luas untuk ditanami dan dibudidayakan, namun kualitas kesuburan tanahnya juga sangat tinggi. Berlimpahnya sumber daya alam, luasnya cagar alam, dan keanekaragaman hayati menjadikan Indonesia negara yang kaya. Namun, di balik itu terdapat tanggung jawab negara untuk menjaga keseimbangan antara peningkatan jumlah penduduk dan ketersediaan sumber daya alam.
Dengan adanya kewaspadaan ini, bangsa Indonesia terdorong untuk menginisiasi gerakan-gerakan pelestarian alam. Salah satu pendekar memperjuangkan permasalahan perubahan iklim dan pelestarian alam di tingkat politik dan kemasyarakatan adalah seorang wanita yang sangat talented dan ambisius bernama Aretha Aprilia.
Aretha telah meraih ijazah Master dalam bidang Urban Environmental Management dari Universitas Wageningen di tahun 2005. Selama mengenyam pendidikan di sana, ia banyak terlibat dalam berorganisasi (sebagai Wakil Ketua PPI Wageningen) dan gemar menulis pengalaman-pengalaman unik di Belanda. Beberapa karangannya yaitu menceritakan tentang pasar di ruang terbuka di Wageningen dan keindahan kebun Keukenhof yang dibuka setiap musim semi. Menurutnya, pengalaman akademis di Wageningen lah yang turut membantu pembentukan kesuksesan karier internasional yang diraihnya hingga saat ini.
Setelah gelar Masternya, Aretha melanjutkan pendidikan PhD di Universitas Kyoto, Jepang, dalam bidang Ilmu Energi (Energy Science). Penelitiannya mengandung rekomendasi kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam menangani pengelolaan sampahserta dampaknya terhadap lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Tidak sedikit penghargaan dan prestasi yang telah diraihnya, di antaranya: ‘Green Talents 2017’ dari Kementerian Pendidikan dan Riset Pemerintah Jerman di Berlin, ’50 Most Impactful Green Leaders (Global listing) 2017’ dari World CSR dan World Sustainability di Mumbai, India, ‘Young Professional Caring Award’ dari grup Martha Tilaar, serta menjadi salah satu kandidat ‘Most Powerful Woman’ dari Her Magazine Indonesia.


Sudah jelas wanita ini memiliki bakat dan kapasitas yang luar biasa. Di samping karier internasionalnya, Aretha juga memedulikan perannya sebagai seorang ibu. Ia rajin menulis hal ihwal tentang membesarkan anak dan ibu bekerja. Di dalam bukunya, “Women @Work”, Aretha mengkaji kehidupan pribadinya sebagai ibu rumah tangga dan seorang wanita yang bekerja untuk membangun karier. Buku ini juga mencakup tips serta saran buat para pembaca yang tengah bergulat mencari keseimbangan antara mengasuh anak sambil bekerja.

Pada saat ini, Aretha bekerja sebagai Waste Management & Energy Specialistdi CDM Smith Jakarta, perusahaan konsultan teknik Amerika. Lingkup pekerjaannya mencakup bidang manajemen proyek persampahan, energi dan pengembangan bisnis. Di samping pengelolaan sampah, Aretha berupaya untuk berkontribusi dalam meningkatkan akses energi dan elektrifikasi di luar jaringan listrik (off-grid).
Belindomag mendapat kesempatan untuk mewawancarai Aretha Aprilia. Simaklah wawancaranya di bawah ini.
Apakah yang menjadi pengalaman berharga Anda sewaktu kuliah di Belanda? Faktor-faktor apa saja yang telah memberikan kontribusi penting atas karier yang Anda raih sekarang?
Pengalaman kuliah di Belanda menjadi salah satu ‘turning point’ karier saya. Tidak hanya ilmu yang diterima dari Wageningen University, tetapi juga pengalaman hidup mandiri, bersosialisasi dengan sesama mahasiswa Indonesia maupun berinteraksi dengan profesor dan orang asing.
Kebetulan jurusan yang saya ambil yaitu Urban Environmental Management, mewajibkan mahasiswa/i untuk mengikuti program magang atau internship di semester akhir sebelum tesis. Kami diperbolehkan untuk mengikuti program internship yang sudah dibuat oleh kampus, tapi juga diberi kebebasan kalau ada yang ingin memilih institusi/perusahaan pilihan masing-masing. Saya memilih opsi yang kedua.
Saat itu saya memanfaatkan kesempatan untuk menjadi intern di United Nations Environment Programme (UNEP) di Paris dan Bangkok dengan durasi total setengah tahun. Kesempatan itu menjadi salah satu penentu arah karier selanjutnya. Sebab setelah lulus S2, saya mengikuti suami yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah S3 di Bangkok. Karena sudah mengenal dan dikenal oleh staf-staf senior di UNEP Bangkok, maka saya bisa mendapatkan informasi lowongan kerja. Awalnya direkrut sebagai konsultan, dan setelah itu menjadi Programme Spesialist. Saya bekerja selama sekitar 3 tahun sebelum akhirnya pindah ke Jepang.
Ketika masih menempuh studi S2 di Belanda saya juga sempat aktif sebagai wakil ketua PPI Wageningen. Ada banyak aktivitas berkesan, salah satunya adalah penyajian semacam ‘pentas hiburan’ untuk orang-orang lanjut usia asal Indonesia yang tinggal di panti jompo.
Saya ingat betul, mereka menangis haru ketika mendengar kami menyanyikan lagu-lagu Indonesia, meskipun dengan suara dan instrumen musik seadanya. Pengalaman unik seperti ini yang kemudian juga menjadi memori yang berharga untuk lebih peduli dengan orang lain dan lingkungan sekitar.
Bila Anda napak tilas kembali ke zaman kuliah di Belanda, apakah nasihat Anda untuk para mahasiswa/siswi Indonesia yang pada saat ini sedang kuliah di Belanda?
Saran saya untuk para mahasiswa/mahasiswi Indonesia yang saat ini sedang kuliah di Belanda untuk tidak hanya fokus ‘mencari nilai’ di bangku kuliah saja, namun juga cobalah untuk aktif dalam mencari informasi dan kesempatan magang di instansi atau perusahaan yang relevan dan ingin dimasuki nantinya setelah selesai lulus kuliah.
Dan ketika mendapatkan kesempatan magang, manfaatkan waktu yang relatif singkat itu untuk menunjukkan kinerja yang extraordinary alias melebihi dari ekspektasi atasan kita. Jangan terjebak hanya melakukan pekerjaan sehari-hari yang mundane saja, namun tunjukkan inisiatif kita dan go the extra miles. Investasikan waktu untuk membaca buku-buku mengenai pengembangan karier semasa masih kuliah maupun kala magang, sehingga akan memperoleh tips dan inspirasi untuk meningkatkan karier kita.
Mendapatkan kesempatan internship adalah kesempatan kita untuk ‘get our foot in the door‘. Berdasarkan pengalaman saya selama ini, mayoritas informasi lowongan itu berupa ‘internal vacancies‘ yang tidak di-announce secara luas. Sehingga apabila kita mengenal dengan orang dalam dan kita juga sudah dikenal sebagai seseorang dengan kinerja yang baik, tentunya akan mempermudah kita untuk direkrut sebagai employee.
Akan lebih baik juga apabila kita memilih divisi/project yang sesuai dengan tema riset untuk tesis. Sehingga ketika magang kita bisa sembari melakukan data collection atau bahkan menyicil dalam menulis tesis, sehingga akan mempersingkat waktu kita dalam menyelesaikan program S2. Dulu saya mengirimkan surat lamaran spesifik ke manajer project mengenai sustainable consumption – yang merupakan topik S2 saya. Jadi sembari magang, saya gunakan waktu untuk melakukan riset dan survei lapangan juga.
(Note: Tips-tips tersebut pernah saya share secara menyeluruh dalam buku ‘Rahasia Sukses Berkarir Internasional yang diterbitkan Gramedia pada tahun 2015 dan di buku ‘Women@Work’ yang terbit akhir 2018 lalu).
Saat ini Anda merupakan penggerak EBT (Energi Baru Terbarukan) di Indonesia, terutama untuk desa-desa terpencil. Belanda juga merupakan negara dimana EBT memainkan peran penting dalam pembangkitan energi. Apakah ada yang bisa kita pelajari dari konteks Belanda untuk penerapannya di Indonesia?
Belanda memiliki bauran energi terbarukan dengan mayoritas pemanfaatan tenaga bayu/angin (wind energi). Namun ketika saya masih kuliah S2 di tahun 2003-2005, saya ingat betul kalau orang Belanda memiliki concern terhadap efisiensi energi. Selain ada banyak tema perkuliahan di bidang itu, namun juga ada dosen yang saat winter ‘rela’ pakai jaket tebal di ruang kerjanya karena beliau tidak mau menyalakan heater untuk mengurangi konsumsi energi. They practice what they preach.
Sewaktu di Belanda, topik riset saya terkait dengan isu sustainable food consumption. Dan pada tahun 2000-an isu tersebut sudah mencuat dan menjadi concern bagi orang-orang Belanda dan Eropa secara umum, ketika belum banyak dibahas di negara lain termasuk Indonesia.
Apa yang dapat dijadikan contoh penerapan EBT di Indonesia yang dapat dijadikan pelajaran untuk konteks Belanda?
Belanda kiranya bisa mencontoh dalam hal upaya Indonesia berupa penetapan target penambahan bauran EBT dan pengurangan gas rumah kaca. Indonesia sudah lebih ‘berani’ dalam menetapkan target, meskipun untuk implementasinya masih sedikit terseok karena isu kebijakan yang kurang stabil saat ini Namun seperti yang dikatakan oleh orang bijak Norman Vincent Peale: “Shoot for the moon. Even if you miss, you’ll land among the stars”. Paling tidak kita sudah punya niatan awal yang baik, selanjutnya diperlukan enforcement agar bisa mendekati (kalau belum bisa mencapai) target-target tersebut.
Apakah strategi Anda untuk mengarahkan mindset para pemegang saham (shareholder) dan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk meningkatkan pembangkit energi dari EBT?
Saya berusaha untuk menyampaikan aspirasi opini ide-ide serta masukan kepada para shareholders maupun stakeholders untuk meningkatkan EBT melalui pelbagai tulisan artikel opini di media massa. Saya juga aktif diundang sebagai narasumber seminar nasional maupun internasional untuk membahas isu-isu EBT.
Tempo hari saya juga diundang oleh Editor dari koran The Jakarta Post untuk berkontribusi berupa artikel untuk edisi spesial “Outlook 2019.” Artikel tersebut telah terbit sebagai bagian dari kumpulan tulisan para pemangku kepentingan serta pakar, di antaranya Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bapak Sudirman Said.
Selain EBT, Anda juga bergerak dalam bidang pengelolaan sampah. Sejauh mana dan bagaimana prospek pengelolaan limbah untuk membangkit tenaga listrik di Indonesia?
Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, pemerintah menjadi semakin serius dalam upayanya untuk mengakselerasi waste-to-energy (WtE). Meskipun secara konsep WtE adalah teknologi yang bisa membantu dalam mengatasi soal sampah, namun biaya investasi awal (capex) dan operasional (opex) sangat tinggi sehingga dirasa masih kurang aplikabel untuk Indonesia saat ini apabila mempertimbangkan sisi kemampuan finansial pemerintah daerah.
Secara realistis, sebetulnya Indonesia masih perlu fokus untuk memastikan bahwa semua tempat pembuangan akhir (TPA) yang ada harus menggunakan metode sanitary landfilling. Saat ini kebanyakan TPA hanya sekedar menjadi lokasi open dumping. Pengelolaan dan revitalisasi TPA diperlukan untuk memperpanjang usia dari TPA-TPA yang ada. Sembari kita mencari peluang untuk pengaplikasian teknologi WtE di masa mendatang selagi menunggu kesiapan keuangan dari pemerintah daerah, serta kemungkinan implementasi public-private-partnership (PPP) untuk menggandeng sektor swasta dalam pengelolaan sampah.
Pertanyaan terakhir untuk artikel ini. Climate change dan environmental issues adalah masalah dunia secara global. Namun, apakah Anda berpendapat Indonesia sanggup menjadi pelopor dan contoh untuk dunia sebagai negara yang memprioritaskan keseimbangan antara pelestarian lingkungan hidup dan kemakmuran penduduk Indonesia?
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan falsafah kedaerahan. Di satu sisi, masyarakat kita masih punya kebiasaan membuang sampah di sungai. Sebetulnya ada alasan lebih mendalam, antara lain karena terdapat kepercayaan daerah tertentu yang menyarankan agar popok bayi dibuang ke sungai, supaya bayinya tidak rewel atau terkena penyakit kulit. Lalu membuang pakaian dalam juga konon sebaiknya di sungai/laut, supaya badan tidak gerah. Atau kepercayaan bahwa kasur dan baju yang dipakai oleh orang yang sudah meninggal harus dilarung ke sungai/laut agar arwahnya merasa tenang.
Kepercayaan seperti itu masih melekat karena budaya yang turun temurun, sehingga perlu adanya perubahan paradigma. Hal tersebut bisa diawali dengan pendidikan sejak usia dini hingga awareness raising untuk masyarakat usia dewasa, mengenai dampak negatif dari pembuangan sampah di sungai/laut.
Namun di sisi lain masyarakat Indonesia kaya dengan kearifan lokal yang membantu dalam upaya pelestarian lingkungan. Misalnya masyarakat daerah tertentu tidak dengan mudah membabat hutan, karena takut dengan keberadaan ‘penunggu’ alias roh halus ‘penjaga’ hutan-hutan tersebut. Sehingga hal tersebut secara tidak langsung membantu upaya preservasi lingkungan dan menghindari adanya penggundulan hutan di beberapa daerah. Terdapat juga falsafah Jawa “ibu bumi, bapa aksa” yang artinya adalah “ibu adalah bumi, bapak adalah langit”. Maka dipercaya bahwa jika manusia merusak bumi, maka langit pun akan ikut marah dengan diturunkannya beraneka macam bencana.
Sehingga kiranya Indonesia bisa menjadi contoh sebagai negara yang mengaplikasikan konsep ‘think global act local’ yang sesungguhnya dalam hal konservasi lingkungan. Selain itu, masyarakat kita pun sudah semakin cerdas dan aware dengan pelbagai masalah lingkungan dan perubahan iklim, yang ditunjukkan dengan maraknya aktivitas skala komunitas. Misalnya kini makin banyak program bank sampah di tingkat komunitas yang bertujuan untuk mereduksi sampah yang dibuang ke TPA. Semangat ‘gotong royong’ ini menjadi salah satu kekuatan masyarakat Indonesia yang unik serta bisa menjadi contoh baik untuk dunia.