Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini telah mengalami keterbatasan akibat penyebaran pandemi virus Corona yang masih saja belum bisa terkendalikan. Namun, nilai perayaan ini akan kita junjung tinggi terus. Salah satu caranya adalah dengan membagi cerita kisah-kisah nyata para pejuang di zaman kemerdekaan. Dengan ini, semoga bangsa Indonesia terus akan berkembang menjadi negara yang berkepribadian dan berintegritas tinggi.
Artikel “Upacara Militer bagi Almarhum Veteran RI di Belanda” yang telah dipublikasi KBRI Den Haag pada tanggal 26 Mei 2018 telah memikat hati saya. Siapa pejuang kemerdekaan RI ini yang meninggal di Utrecht, Belanda? Putrinya, Yanti Kusumanto menceritakan kisah ayahnya. Sosok pejuang kemerdekaan yang memiliki nilai kewibawaan tinggi dengan kecerdasan yang mendorongnya pada ilmu yang mempelajari benda-benda langit. Nama Bapak Kusumanto Purbosiswoyo telah mengharumkan benakku di saat aku mengingat jasa beliau bersama rekan-rekan seperjuangan yang telah memberiku kesempatan hidup tanpa penindasan.

Sayang, kesempatan untuk berkenalan dengannya punah didahului oleh takdir karena pada tanggal 18 Mei 2018 Bapak Kusumanto meninggal dunia. Upacara penghormatan secara militer turut mengiringi proses kremasi Bapak Kusumanto yang diadakan di Kota Utrecht. Upacara tersebut dihadiri oleh Bapak Dubes I Gusti Agung Wesaka Puja yang menyerahkan sebuah bendera merah-putih kepada istri almarhum sebagai tanda hormat dan apresiasi bangsa Indonesia atas perjuangan suaminya di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Bapak Kusumanto lahir dan dibesarkan di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1929. Dari awal riwayat kerjanya ia sudah terjun di dalam dunia pendidikan. Setelah lahirnya negara Republik Indonesia, Bapak Kusumanto bertekad untuk mendidik anak-anak bangsa. Ia menjadi guru di Taman Dewasa Yogyakarta kemudian menjadi direktur Sekolah Menengah Kristen, di Kebumen, Jawa Tengah. Di sekolah inilah beliau berkenalan dengan calon istri, yang merupakan pendiri serta guru sekolah tersebut.
Pada masa inilah, pengalaman hidup bermasyarakat dalam lingkungan sosial-budaya dan sosial-politik kolonial Hindia-Belanda memberi kesadaran kepada beliau bahwa bangsanya yang berkulit sawo matang itu harus bangkit melalui pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam periode ini pula rasa nasionalismenya membawa beliau ke medan perang. Ia bergabung ke dalam Akademi Militer Yogyakarta untuk melatih pertahanan rakyat di masa perang kemerdekaan pertama pada tahun 1947. Kemudian di tahun 1949 beliau berjuang dalam perang kemerdekaan kedua dan memimpin kelompok pertahanan sipil untuk bergerilya di daerah Yogyakarta. Kelompok sipil ini bekerja sama dengan tentara RI dan secara keseluruhan disebut Wherkreise III serta dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto (mantan Presiden RI) yang tergabung di bawah komando Jenderal Soedirman. Bapak Kusumanto juga terlibat dalam pasukan Garuda Kurda (Prawirodirjan) pada Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah melalui waktu peperangan yang begitu melelahkan fisik dan mental, para pejuang ingin mengambil kesempatan yang sempit ini untuk memikirkan masa depan masing-masing. Keadaan Indonesia jauh dari stabil, maka itu semua kesempatan harus diambil secepatnya untuk membangun masa depan yang baik. Saat itu, Bapak Kusumanto berkeinginan untuk meneruskan pendidikannya mempelajari ilmu bintang dan mencari pekerjaan yang layak. Pada 1953, beliau memulai studi astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa beliau masih kuliah, beliau menikah dan putri pertama mereka lahir pada periode ini.

Bapak Kusumanto meraih gelar ahli astronomi di bawah bimbingan Professor Van Albada, seorang astronom ternama asal Belanda yang kala itu menjabat sebagai Direktur Observatorium Bosscha di Lembang. Sebagai sarjana astronomi Indonesia pertama, Bapak Kusumanto dijadikan asisten observatorium sebelum mulai studi doktoralnya di Amerika Serikat tahun 1960. Dalam sejarah astronomi Indonesia, ia tercatat sebagai sosok yang pada tahun 1955, yakni semasa kuliahnya, berhasil meningkatkan performa teleskop Bamberg di Observatorium Bosscha, yang rusak dikarenakan Perang Dunia II. Bersama keluarganya ia tinggal di kompleks Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung.
Rasa bangkit terus timbul di benak Bapak Kusumanto dan ia menerima beasiswa dari USAID dan UNESCO untuk mengambil S3. Pada 1963, ia berhasil meraih gelar PhD dari Case Institute of Technology di Ohio, Amerika Serikat. Disertasinya berjudul ‘Correcting photographic magnitudes due to background irregularities in the photographic plates’. Sepulang dari AS ia menjadi dosen astrofisika di ITB dan sempat mengisi jabatan sebagai Kepala Interim Observatorium Bosscha.
Kehidupan pasca-kemerdekaan masih saja belum menghasilkan kehidupan yang aman dan baik untuk rakyat RI. Situasi malah semakin parah di kalangan kehidupan sosial negara yang baru saja beralih menuju kedaulatan. Rakyat saling mendakwa dan memanas satu sama lain, perampokan hingga pembunuhan tanpa alasan pun banyak terjadi. Terutama untuk orang-orang yang keturunan Belanda/Eropa situasi drastis berubah. Yang tadinya patuh bekerja untuk para tuannya, kini dianggap menjadi lawan mereka.
Hal ini juga terjadi pada Bapak Kusumanto. Hubungan kerja sama antara Prof. Van Albada dan Pak Kusumanto yang tadinya erat dan baik menjadi renggang. Akhirnya di sekitar awal tahun 60-an, di zaman Presiden Soekarno, keluarga Prof. Van Albada harus meninggalkan Indonesia. Pengalaman pahit ini bukan hanya dirasakan oleh keluarga Prof. Van Albada tetapi dialami oleh kebanyakan orang Belanda atau keturunan Belanda. Setelah kejadian ini, Prof. Van Albada dan Bapak Kusumanto tidak pernah mejalin hubungan lagi. Walaupun telah tinggal lama di Belanda dan meskipun beberapa usaha telah dilakukan untuk menghubungi Prof. Van Albada, rupanya rasa pahit masih dirasakan hingga kesempatan untuk bertemu dengannya tidak pernah terjadi. Kesenjangan yang berkembang dengan professornya telah membawa kekecewaan pada Bapak Kusumanto sendiri. Beliau di dalam lingkungannya tentu dikenal sebagai seorang nasionalis. Namun menurutnya, setelah kemerdekaan RI diraih, peperangan dan permusuhan harus ditinggalkan semua pihak.
Sesuai mandat pemerintahan Soekarno, Bapak Kusumanto ditunjuk sebagai Wakil Dirjen Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan bertanggung jawab atas riset antara 1963-1971. Namun setelah peralihan pemerintahan ke tangan Soeharto, kondisi politik dan ekonomi negara kurang kondusif untuk riset antariksa. Oleh karena itu, dana untuk penelitian susah dialokasikan dan ini menjadi dasar alasan Bapak Kusumanto untuk berangkat ke luar negeri.
Saat konferensi di Tokyo, ia berkenalan dengan astronom Belanda yang sampai saat ini masih sangat terkenal, yakni Kees de Jager. De Jager menyarankan Bapak Kusumanto untuk hijrah ke Belanda, namun sesampai di Belanda tidak ada pekerjaan dalam disiplin astronomi. Akhirnya, de Jager memberikan rekomendasi agar Bapak Kusumanto menjadi staf peneliti di Philips dan keluarganya menyusul ke Belanda.
Walaupun bidang astronomi di Belanda tidak menawarkan peluang kerja, Bapak Kusumanto melanjutkan berkiprah di ilmu pengetahuan. Pada tahun 1976 beliau menjadi kepala ilmiah pada Fakultas Matematika dan Informatika di Technische Hogeschool Delft (sekarang TU Delft) dan setelah pensiun mendirikan fakultas disiplin matematika dan informatika di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Setelah berpuluhan tahun menimba ilmu dan berpengalaman hidup di luar negeri, ternyata tali penghubung jiwa dengan tanah air masih erat dipegangnya. Bapak Kusumanto mengambil pensiun dini pada tahun 1985 dan menggunakan waktu tersebut untuk berkunjung ke Yogyakarta mencari kawan-kawan seperjuangannya. Bersama mereka, Bapak Kusumanto membantu merealisasikan monumen pahlawan di Yogya yang didedikasikan buat mereka yang tewas di medan pertempuran. Pada masa periode pensiun, Bapak Kusumanto menghabiskan waktunya untuk membimbing keluarga dan menjaga hubungan dengan Indonesia. Di akhir hayatnya, tidak heran jika sosok pejuang yang telah berkontribusi besar dalam membela kemerdekaan dan mengembangkan ilmu pengetahuan ini telah menerima kehormatan dari bangsa Indonesia. Selain diriku merasa bersyukur atas pengabdiannya terhadap negara Indonesia, namanya pun akan selalu kukenang dan kuharumkan terus. Saya yakin bahwa Bapak Kusumanto Purbosiswoyo saat ini berada di tempat yang didambakan yaitu tempat yang damai.