Oleh: Arfika Lubis
Pertama kali menginjakkan kaki di Belanda pada tahun 2010, saya beserta keluarga sedang mengikuti tur keliling Eropa. Belanda adalah negara kedua setelah Jerman yang kami kunjungi. Love at first sight. Iya, itu yang saya rasakan waktu berada di Belanda. Bahkan setelah melewati negara-negara Eropa lainnya yang juga cantik, cinta saya tidak meluntur. Everyone has their own definition about love. Mine is: I cannot describe it. I just feel it. Saya bilang ke orangtua saya saat kami tiba di bandara Soekarno-Hatta, “Saya mau kelak hidup di Belanda”. Kemudian papa saya bertanya, “Kenapa Belanda? Bukannya Belgia lebih bagus? Atau kenapa tidak Perancis yang lebih romantis? Dan Swiss yang kaya akan pemandangan alam?” Saya tidak suka jika harus mengkomparasi negara-negara tersebut. Sama halnya saya tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Saya cuman bilang, “Hati saya tertinggal di sana”.
Tidak lama setelah itu, saya mendapat tawaran dari kampus untuk mengambil beasiswa ke Jerman. Awalnya saya tertarik karena Jerman-Belanda tidak jauh, jadi saya bisa sering-sering main ke Belanda. Tapi, orangtua kurang memberi restu dan Mama memberi syaratnya sendiri: saya hanya boleh tinggal di luar negeri kalau sudah bersuami. Sayangnya, beasiswa tersebut tidak menyertakan ‘jodoh’. Nyemm.
Kemudian saya melanjutkan karier di Jakarta sambil terus berpikir keras bagaimana mendapat kesempatan ke Belanda (iya, berpikir saja tapi tidak ada action-nya. Hihi) Tetiba seorang teman yang berencana untuk mengambil master-nya di Utrecht mengajak saya untuk iseng-iseng belajar bahasa Belanda di Erasmus Huis (Kuningan, Jakarta). Saya pikir, kenapa tidak belajar bahasanya dulu siapa tahu nanti ada kesempatan bisa ke sana atau paling tidak bisa menambah panjang kolom kemampuan bahasa di CV. Mungkin juga dengan mengenal bahasa Belanda bisa mengantarkan saya kepada syarat utama Mama saya, yaitu ‘jodoh’. Hmmm…kalau yang ini sih mode ngarep: ON.
Seorang teman memperkenalkan saya kepada kenalannya yang tinggal di Belanda. Dia pikir mungkin saya tertarik untuk mempraktekkan langsung kemampuan bahasa saya kepada orang yang memang tinggal di Belanda. Menyadari hasil kursus 3 bulan di Erasmus sudah menguap dari ingatan, saya tidak punya keberanian mempraktekkan langsung bahasa Belanda saya. Tapi, saya tetap menjalani silaturahmi dengan kenalan baru saya di Belanda itu via e-mail dan tentunya dengan bahasa Indonesia saja. Hehe.
Setelah memangkas biaya ngopi-ngopi di cafe bertahun-tahun, akhirnya terkumpul juga rejeki bisa kembali liburan ke Belanda di awal tahun 2013. Kali ini saya pergi sendirian dan hanya menjelajahi Belanda. Karena pertama kali pergi menyeberangi benua sendirian tanpa keluarga, saya meminta kenalan baru saya itu untuk menemani saya selama di sana. Termasuk dalam jemput-antar ke Schiphol. Baru kenal sudah nyusahin, ya? Hehe.
Masih terpajang rapih di ingatan saya. Rasa syukur yang meletup-letup di dada masih tidak percaya bahwa kaki-kaki ini mampu menapaki mimpi dua tahun lalu. Ini bukan sekadar mimpi tapi juga buah dari kerja keras dan rasa percaya kepada Tuhan bahwa Dia-lah sang Mahabaik yang sedia selalu mendengarkan doa-doa saya. Tersembul lagi mimpi lainnya, suatu saat saya akan kembali ke negeri ini dengan membawa hati saya sepenuhnya.
Diri ini adalah ganjil
Dan akan ada diri lain yang menggenapkan
Bukan lagi saya dan dia
Tapi ‘kita’.
-Fika-
Memang benar, Tuhan adalah penulis skenario terhebat. Siapa yang mengira, kali ini mimpi saya dikasih bonus ‘jodoh’. Di tahun yang sama, kenalan yang saat itu menjadi tour guide pribadi saya di Belanda, kini adalah suami saya. Sungguh tidak bisa ditebak jalannya Tuhan mengabulkan doa. Kadang ia dibelokkan dulu hingga kita lelah meminta kepada-Nya, tapi yang terus percaya tentu tidak akan kecewa.
Karena Belanda saya belajar menuliskan mimpi. Dan kali ini saya belajar menuliskan Kita. Setelah kehadirannya, Belanda semakin menjadi the perfect package for my life. Belanda dan Kita. Karena kini Belanda bukan lagi tempat berlibur, bukan sekadar mimpi lanjutan, tetapi ia punya tujuan baru: tempat hati pulang.
4 Komentar
Romantis,,,semakin menguatkan ku untuk mencari “dia”yg akan mjd “kita”yg msh rahasia penciptaNya
Kak fika inspiratif bgt
Teringat 2 tahun lalu…Yes, it was true story of Fika…miss u so much :’)
Bebiiih. Finally ngeblog lagii. Semoga hepi disana yaa, after the struggling adaptasi budaya, cuaca, and so on. jangan lupa kenalin babinya sama indonesia dan onti cakepnya, ga usah sebut nama, nggak enak.
inspiratif, dtggu kelanjutan kisah dari belanda kak fika.. 🙂