Pada tanggal 2 Juli 2020 telah diselenggarakan webinar Ikat Platform Launch: Binding cultures in times of crisis. Platform online ini diluncurkan atas inisitatif CCD-NL (The Centre of Cultural Development in The Netherlands), organisasi yang mendukung dan mewakili para perajin seni tradisional maupun kontemporer yang menjunjung tinggi nilai-nilai warisan pusaka (heritage) dan filsafat seni.
Krisis Corona ini telah menimpa aktivitas kehidupan manusia di seluruh pelosok dunia. Berkurangnya aktivitas pemasaran di berbagai lapisan ekonomi mengakibatkan penyumbatan sektor perdagangan terutama dari pihak produsen. Dengan adanya krisis ekonomi ini kontinuitas daya hidup masyarakat terancam akibat ketergantungan produktivitas. Untuk menjaga agar ilmu para perajin tidak menghilang dan mencegah pengaruh negatif terhadap masyarakat lokal, sebuah platform pelaku seni diperlukan.

Peluncuran platform tersebut telah diterima hangat oleh partisipan webinar yang berasal dari berbagai macam negara, antara lain Indonesia, Australia, India, Belanda, Dubai. Acara tersebut dibuka oleh Julita Oetoyo (dosen dan PhD candidate dari Universitas Bonn) selaku moderator yang menjelaskan bahwa CCD-NL kini menjalankan tiga proyek: Ikat platform, Kurume Kasuri, European Solidarity. Tarian dari NTT yang dipersembahkan oleh TIFA Dans turut membuka acara tersebut.
Pembicara pertama adalah pendiri CCD-NL, Yetty Van Der Made-Haning, yang menjelaskan bahwa CCD-NL didirikan tahun 2017 untuk mempertahankan warisan seni dari daerah rural. Fokus utama CCD-NL adalah meningkatkan keunggulan tenun Ikat dari Nusa Tenggara Timur sekaligus menautkan hubungan bilateral Indonesia-Nederland. Sejak 2019, organisasi tersebut memperluas kerjasamanya dengan perajin ikat Kumure Kasuri dari Jepang. Kyozo Shimogawa, pembicara kedua, menjelaskan bahwa karakteristik keunikan Kumure Kasuri adalah penggunaan teknik ganda ikat. Kain Kumure Kasuri menggunakan warna indigo alami dan sintentis yang sanggup menghasilkan ekspresi warna yang khas. Pembicara ketiga adalah Nikkie Wester sebagai perancang tekstil dan future heritage dari Belanda. Nikkie menitikberatkan perlunya dialog antara para peseni dan masyarakat agar warisan seni tetap terjaga. Dengan dialog ini warisan seni budaya tradisional dapat berkembang terus di masa mendatang sehingga generasi-generasi penerus dapat menyambungkan artefak tersebut.
Pembicara terakhir adalah Selviana B’oi Dao dari Kabupaten Belu, NTT. Bersama kelompok pengrajin Wehor Hadomi yang terdiri dari 10 penenun ia mampu menghasilkan 4 kain sebulan dan minimal 2. Meskipun penghasilan selama krisis ini sangat menurun namun aktivitas menenun tetap diteruskan. Dalam sehari-harinya mereka hanya memakan makanan sederhana dan dari hasil perkebunan sendiri. Selviana berharap dengan adanya platform ini perhatian dan dukungan untuk perajin dari NTT tetap dapat ditingkatkan.
Secara praktis, platform ikat ini dapat dijadikan sebagai learning centre untuk para perancang, perajin serta publik umum. Intern Kurumi Kasuri, Hui Shan mengungkapkan keinginannya untuk membangun sebuah database di mana pengetahuan tentang Kurumi Kasuri dapat diakses dan dipelajari bersama. Seterusnya, platform ini juga dapat dijadikan sebagai pasar online.
Yetty menambahkan bahwa platform online ini dapat menjadi pertemuan berbagai pemeran dalam pelaku seni, seperti produsen, perajin, penenun, perancang, organisasi budaya, serta sponsor untuk memfasilitasi kebutuhan perkembangan produk kesenian. Kegiatan yang akan dilaksanakan ke depan berupa workshop, lecture, webinar dan pada tahap akhir, merealisasikan webshop.
Acara launch diakhiri dengan Tari Payembrahma dari Bali yang diperagakan oleh grup Dwibumi Balinese Dance and Culture. Untuk acara ikat launch ini, mereka memakai ikat sutra Endek khas Bali.
Untuk informasi lebih lanjut: Booklet Ikat Platform dan webinar launching.