Dalam abad informasi yang pesat, inisiatif atau gerakan satu individual dapat memberikan dampak penting yang sanggup melampaui batasan negara dan budaya. Untuk mengubah kebiasaan suatu masyarakat diperlukan sosok orang yang memiliki kepribadian yang gentar untuk memperkenalkan pemikiran baru. Untuk mengubah suatu kebiasaan diperlukan perubahan drastis dari budaya masyarakat yang sudah bertahun-tahun terbentuk. Dan ini bukan tugas yang mudah. Namun, dengan segala kemantapan dan ketulusan hatinya, Nila Patty siap menghadapi tantangan sampah plastik yang begitu besar pengaruhnya untuk umat manusia.
Pertama kali saya dengar tentang Nila Patty adalah ketika saya tengah membacakan buku anak berjudul ‘Plasticsoep is Troep’ (terjemahan: Sup Plastik adalah Sampah) kepada anak saya. Buku ini bertujuan untuk melatih anak-anak SD membaca sekaligus mengenal masalah-masalah dunia terkini. Buku tersebut menceritakan bahwa kebiasaan menggunakan plastik memiliki andil dalam merusak lingkungan hidup. Contohnya, balon yang telah ditiupkan dan dilepaskan di alam terbuka dapat mengakibatkan penumpukan plastik sampah di daerah pesisir. Bagian-bagian plastik tersebut sering sekali termakan oleh hewan-hewan yang tinggal di daerah pesisir hingga mengakibatkan mereka sakit bahkan tewas. Oleh karena itu, kini di Belanda banyak orang yang waspada tentang penggunaan balon: lebih baik dihindari atau digunakan hanya di dalam rumah kemudian dibuang ke dalam tempat khusus buat sampah plastik.

Pemenang sayembara lingkungan se-dunia
Di bagian belakang buku Plasticsoep is Troep yang ditulis oleh penulis terkenal di Belanda, Annemarie van den Brink, terdapat dua halaman yang menceritakan contoh-contoh inisiatif anak muda dalam menangani permasalahan plastik dunia. Dengan bangga saya membaca dua inisiatif dari Indonesia: pertama, proyek Bye Bye Plastic Bag yang dipelopori oleh Melati dan Isabel Wijten, dua wanita Indo bertempat tinggal di Bali yang ingin mengurangi penggunaan tas plastik; kedua, Nila Patty, mahasiswi dari Indonesia yang berhasil memenangkan sayembara dunia International World’s Challenge Challenge 2017 di Kanada sewaktu ia kuliah di Universitas Radboud di Nijmegen. Perjuangan Nila tidak sebatas menjadi pemenang sayembara tersebut yang diraihnya bersama kawan-kawan kuliahnya dan berhadiahkan sekitar 9000 EUR untuk tim proyek plastiknya. Ia juga menjadi perintis penggerak masyarakat Nijmegen, kota tempat tinggalnya, untuk mengurangi penggunaan plastik. Nila sudah kerap dikenal orang pasar setempat sebagai mahasiswi Indonesia yang selalu siap membawa tas ramah lingkungan untuk berbelanja. Dengan inisitiaf individual inilah Nila dipercayai oleh masyarakat Nijmegen untuk mengadakan De Nijmeegse Afval Challenge. Inisiatif ini dijadikan sorotan utama dalam pertandingan Uni Eropa pada 2018 yang disebut European Green Capital. Pertandingan ini menggugah kota-kota di Eropa untuk menunjukkan usaha terbaiknya dalam mencapai kota ramah lingkungan. Yayasan Green Capital Challenge Nijmegen dibentuk untuk melaksanakan tujuan ini. Salah satu inisiatifnya adalah mengajak penduduk Nijmegen untuk hidup tanpa plastik selama 30 hari.

Nila dan kawan-kawan mahasiswa Radboud University meraih juara kedua sayembara International World’s Challenge Challenge 2017 di Kanada (Foto: International Learning at Western)
Saya jadi sangat tertarik untuk mengenalinya lebih lanjut. Siapakah sosok wanita yang begitu energik dan menjadi wajah pendekar pemberantas sampah plastik dari Indonesia ini?
Didikan seorang ayah untuk berani menghadap permasalahan dunia
Nila Patty memiliki roots dari Saparua, Maluku dan dilahirkan di Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 3 Desember 1992. Karena pekerjaan ayahnya sebagai polisi, keluarga Nila sering berpindah-pindah untuk mengikuti tempat dinasnya. Selama itu, Nila telah menyaksikan betapa kurangnya kewaspadaan penduduk di berbagai pelosok Nusantara dalam hal pembuangan sampah. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam menangani masalah tersebut. Didikan ayahnyalah yang membuat Nila tidak takut mengeluarkan pendapatnya dan selalu mengasah rasa ingin tahunya.
Dengan watak inilah Nila pun bertekad untuk menjadi ilmuwan (scientist). Berangkatlah ia ke Belanda pada tahun 2010 untuk meneruskan pendidikan S1-nya di HAN (Hogeschool van Arnhem en Nijmegen) University of Applied Sciences dengan jurusan Molecular Life Science. Kemudian ia lanjutkan pendidikan S2 di universitas bergengsi di Belanda bernama Radboud University Nijmegen dengan jurusan Medical Biology dengan spesialisasi Science Management and Innovation. Sudah jelas wanita ini memiliki energi yang luar biasa untuk menggerakkan umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan sehat. Dalam periode inilah ia menyadari bahwa keterkaitan sampah lingkungan dengan kesehatan amat sangat erat. Nila memutuskan untuk menjadi pionir dalam menjalankan hidup zero waste. Ia bukan presiden ataupun ratu sebuah negara, namun Nila adalah presiden rumahnya sendiri. Dan ternyata kepemimpinannya ini menjalar ke dunia luar!

(Foto: Nila Patty LinkedIn)
Di Belanda, terdapat 3 macam sampah rumah tangga, yaitu sampah organik (yaitu sampah sayuran, buah dan sisa kebun), sampah sisa (yaitu sampah yang tidak bisa didaur ulang, dan sampah plastik. Sistem terpusat yang terorganisasi seperti di Belanda akan mengalami kesulitan dalam implementasinyadi Indonesia karena karakteristik kepulauannya. Ide zero waste juga masih awam di telinga masyarakat Indonesia. Terinspirasi dari Precious Plastic milik Dave Hakken, Nila mengambil blueprint dari 4 mesin skala kecil untuk pendaurulangan plastik sehingga bisa diimplementasikan di kepulauan Indonesia. Pada tahun 2017 ia mendirikan gerakan Sampah 2 Use yang bertujuan untuk membangun instalasi daur ulang plastik dalam skala yang terjangkau di pulau-pulau kecil. Project ini dimulai di pulau Saparua, Maluku. Selain membuat projek pendaurulangan, Nila juga menulis disertasinya dalam topik yang sama. Fokusnya adalah ke analisis dan pendataan jenis sampah dan bagaimana menanggulangi permasalahan sampah di pulau kecil dengan melibatkan para pemangku jabatan serta masyarakat. Karena perubahan besar hanya bisa terjadi dari dalam komunitas.

(Foto: Nila Patty Instagram)
Dengan Gerakan Zero Waste, Nila membuka berbagai saluran sosmed dengan julukan nonanoplastic dalam bentuk website dan media sosial (Instagram dan Facebook) untuk berbagi ide, prinsip dan tips menjalankan gaya hidup zero waste ke masyarakat umum. Di tahun 2019 Nila bergabung dalam platform Zero Waste Indonesia sebagai strategic initiative dan mengkoordinasi penelitian mahasiswa Indonesia mengenai zero waste dan komunitas minim sampah yang mulai tumbuh di Indonesia. Melalui komunitas online ini, Nila juga berbagi informasi untuk mengedukasi khususnya pemuda Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai Gerakan Zero Waste.

(Foto: Nila Patty LinkedIn)
Saya sangat beruntung sempat berkenalan dengan Nila Patty pada acara pertemuan pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda di KBRI Den Haag tahun lalu untuk membicarakan konferensi climate change COP24 di Polandia. Semangat getaran sel tubuh saya tergentar oleh suara lantang dan gaya energiknya Nila menandakan bukti bakat wanita sebagai pemimpin yang akan membawa dunia ke dunia zero waste! Tidak heran banyak instansi-instansi nasional dan internasional yang ingin menjadikan Nila sebagai juru bicara. Salah satunya adalah TEDx Venlo, webinar “Sustainability & You”, Youth Dialogue COP25 dengan Patricia Espinosa (Executive Secretary of the UNFCC), TEDx Youth Nijmegen dan lain-lain. Tentu, kita semua akan mendengar lebih banyak dari wanita power ini. Semoga kita semua tergerak mengikuti gagasan mulia Nila Patty ini agar masalah lingkungan di dunia dapat terpecahkan.