Ramadan di Hutan Belanda

0

Oleh Daan Goppel

IVTAR 10-5-2019, Amsterdam

“Saya kesasar.” Itulah pesan teks yang saya ketik dan kirim setelah berkali-kali bersepeda memutari daerah perumahan di Amsterdam Noord (Amsterdan bagian Utara). Sayangnya, tidak ada nomor rumah hanya nama jalan yang tertera pada undangan yang saya terima. Google-pun gagal menunjukkan jalan yang tepat. Putus asa, saya kemudian melihat beberapa pria yang sedang berjalan di pinggir jalan. Apakah mereka keturunan Indonesia? Apakah lebih baik saya ikuti mereka? Setelah saya perhatikan lebih baik, tampaknya mereka memiliki latar belakang Suriname. Untungnya, telepon saya berdering. Seorang pemuda laki-laki dengan suara lembut dan agak tinggi berkata: “Oh, hey, ya, kami akan segera memulai acaranya, saya akan kirim kamu peta lokasinya.” Kemudian koneksi tiba-tiba terputus dan pesan berikutnya muncul: “Kamu harus jalan ke gerbang. Maaf, koneksi terputus, hihihi.”

Berbuka puasa
Ini adalah tahun kedua pertemuan ini diselenggarakan, Rudy menjelaskan. Di belakang saya dia menutup gerbang. Tempat yang sebelumnya sebuah klub tenis ini sekarang lebih mirip hutan. Acara ini awalnya dibentuk sebagai ajang pertemuan sosial—berbuka puasa bersama teman-teman dari komunitas Muslim Indonesia-Belanda—namun kini menjadi acara untuk publik yang lebih luas. Pertemuan malam itu memiliki program yang padat yang tentunya diakhiri dengan masakan Indonesia yang lezat.

Dimple, penggagas IVTAR Foto: Patrick Belvroy

Iftar adalah istilah bahasa Arab untuk berbuka puasa selama bulan Ramadan,” kata Dimple, penggagas pertemuan itu. “Kami menganggap sustainability sebagai tema penting, dan menurut penafsiran saya Al-Quran juga menggarisbawahi hal ini. Oleh karena itu, semua makanan yang disajikan adalah vegetarian. Sebagai permainan kata, kami telah mengubah “f” menjadi “v” dari kata vegetarian, dan dalam hal ini “i” adalah dari kata Indonesia.” Program akan dimulai hingga Dimple pun pamit dan berjalan menuju panggung kecil. Terlihat rambut hitam panjangnya menari-nari di belakangnya.

Banyak jalan menuju Mekkah
Beberapa alas kain dan karpet telah diletakkan di atas rerumputan hijau alami. Tersedia beberapa meja dan beberapa tamu tengah duduk bersila di antaranya. Sepatu-sepatu para tamu diatur berjejeran. Mayoritas pengunjung memiliki latar belakang Indonesia, tetapi tentu saja tidak semua. Terlihat, kelompok yang sangat bhinneka berkumpul pada malam bulan Mei yang dingin ini. Dengan bokong menggigil, tetapi dengan hati yang hangat. Dan bagi sebagian besar tamu, perut yang kosong.

Setelah sambutan dan presentasi singkat dari yayasan pendukung petani kakao di Sulawesi, Lagaligo, muncul sebuah panel diskusi yang terdiri dari tiga peserta dari program TV Belanda Moslims zoals wij (Muslim seperti kita). Dalam program ini, delapan Muslim dengan latar belakang berbeda tinggal bersama selama sepuluh hari dalam satu rumah untuk saling bertukar pikiran serta pengalaman tentang Islam. Yang duduk di kursi panel adalah Döne, seorang wanita Muslim lesbian keturunan Indonesia-Turki, yang tidak puasa, dan yang memperjuangkan posisi orang LGBT di masyarakat Belanda. Duduk di sebelahnya adalah Hazjir yang berusia 27 tahun, lelaki berjanggut keturunan Afghanistan yang, sebelum mengikuti acara tersebut, belum pernah shalat Jum’at di masjid selama hidupnya. Tamu ketiga adalah Joanna, seorang wanita Belanda muda berkulit putih dengan kain merah muda yang mengikat rambutnya. Tiga figur berbeda yang menampilkan diri sebagai Muslim dengan cara mereka sendiri. Ada ungkapan tepat yang muncul dalam diskusi mereka: “Ada banyak jalan menuju Mekkah”.

Panel diskusi
Foto: Patrick Belvroy

Acara kemudian dilanjutkan dengan sebuah pertunjukan a cappella oleh grup nasyid Sahabat yang melantunkan dua lagu dengan suara yang merdu membuat para penonton bertepuk tangan. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan kuis pengetahuan tentang puasa dan Islam. Pengetahuan para tamu yang hadir diuji dengan sejumlah pertanyaan sulit. Di sekitarku, terdengar diskusi dan ungkapan sedikit kekecewaan atau euforia ketika sebuah pertanyaan dijawab secara salah atau benar. Misalnya: “Apakah puasa berlangsung dari matahari terbit hingga senja?” Sebuah pertanyaan yang menjebak, karena puasa dimulai saat fajar, sebelum matahari muncul di atas cakrawala.

Iftar
Ketika hampir saatnya untuk berbuka puasa, seorang pria muda menempatkan diri di depan para tamu. Dia membacakan sebuah ayat Al-Quran dengan lantunan nada bernyanyi. Ini diikuti oleh bacaan terjemahan dalam bahasa Belanda yang berisi aturan dalam menjalan ibadah puasa. Waktu sudah mendekati Magrib dan seorang muazin naik ke atas podium. Seketika, beberapa wanita berdatangan membawakan nampan berisi makanan kecil: kurma, kue pandan, dan anggur. Terdengar suara gembira para tamu melihat makanan yang datang. Kemudian sang muazin mengumandangkan adhan, nama Allah dipanjatkan, dan saat itu pun para hadirin mulai menyantap makanan. Seorang wanita muda non-Muslim tampak bingung. “Apa sekarang sudah boleh makan?” bisiknya kepada tetangganya. “Ya, setelah adhan terdengar,” pria itu menjelaskan dengan mulut penuh anggur dan senyuman ramah.

Para tamu yang ingin melakukan shalat magrib dipersilakan untuk mengambil wudhu di kantin bekas klub tenis tersebut. Setelah shalat selesai acara makan malam yang sangat menyenangkan dimulai. Acara makan diisi dengan  sup, nasi, dan makanan lezatnya lainnya. Dalam semangat Islam yang mencintai lingkungan, semua masakannya vegetarian. Seperti inilah IVTAR, dengan ‘v’ tentunya.

Foto: Patrick Belvoy

SHARE.
Share.

About Author

Leave A Reply