Oleh: Wati Chaeron
‘Setiap orang Belanda wajib mengetahuinya’, begitulah dengung sub-judul buku Roofstaat karya Ewald Vanvugt. Buku ini banyak mendapatkan sorotan media dan timbullah ketertarikan dalam benak saya untuk membacanya. Takdir membuka jalan karena setelah bersilaturahmi ke rumah Ibu Tjen A Kwoei, seorang pejuang kemerdekaan, guru, penulis sinopsis buku, dan penduduk kota Rotterdam yang turut berpartisipasi aktif dalam hal kemasyarakatan di usia lansia (91 tahun), beliau meminjamkan buku tersebut. Terus terang, melihat ketebalan bukunya yang hampir 800 halaman sempat ada keraguan untuk membacanya. Tapi, Ibu Tjen tetap mendorong saya untuk membacanya karena gaya penulisannya gampang dicerna.
Buku ini mengupas sejarah pelaut Belanda dari abad ke-13 sampai abad ke-19. Inilah Abad Keemasan bagi orang Eropa, terutama Belanda, yang turut menggores nilai-nilai kemanusiaan dengan sejarah yang mencemaskan.
Di satu pihak, saya membaca buku Roofstaat dengan niat untuk lebih mengenal diri saya sendiri sebagai warga dunia yang sangat kompleks ini. Di pihak lain, sejarah juga merupakan bagian dari kita semua hingga kejadian-kejadian yang telah terjadi patut direfleksi bersama. Sejarah terjadi untuk dipelajari agar kesalahan masa lalu tidak terulang agar dapat membangun masa depan penuh hikmah untuk sesama manusia. Siapa yang mau menulis sejarah yang gelap penuh penyesalan?
Buku Roofstaat terdiri dari 12 bab, di mana setiap babnya terbagi atas periode-periode tahunan yang menggambarkan kejadian-kejadian penting di era kolonialisme. Bab pertama berjudul ‘Peran pertama Belanda di atas panggung dunia: 1209 – 1563’. Penulis memulai bab pertama dengan pertanyaan kritis perihal multikulturalisme dan integrasi di Belanda. Kita diingatkan bahwa nenek moyang Belandalah yang telah memainkan peran besar dalam pencampuran penduduk dunia. Dunia berubah menjadi tempat kemasyarakatan yang multikultural dengan diversitas yang saling menghubung satu negara dengan negara lain.
Pembaca akan dibawa pada tempat-tempat bersejarah yang suram. Kerakusan, kekerasan, perampasan, penindihan derajat, perbudakan, pembabatan suku, ketidakadilan senjata, peperangan dan perdagangan monopoli telah terjadi. Namun di setiap kejadian yang suram, untungnya nilai-nilai kemanusiaan masih tidak sepenuhnya padam dalam benak beberapa tokoh dalam sejarah. Salah satunya adalah Erasmus dan Spinoza, para pemikir kritis, yang melahirkan pemikiran perikemanusiaan yang bebas dan terbuka. Pemikiran modern ini menjadi landasan sistem kemasyarakatan yang demokratis. Menurut penulis, ternyata para pelaut Belanda sudah menyaksikan bentuk kemasyarakatan ini dalam kehidupan penduduk asli Indian di Manhattan dan seluruh bagian New-Nederland di abad ke-17 (Roofstaat, 2016, blz 268).
Inti buku ini adalah agar pembaca tidak melupakan halaman-halaman hitam sejarah ini. Memang berat untuk mengingat masa yang suram karena mungkin akan membuka luka hati yang dalam. Namun begitu, kita tetap harus optimis terhadap perubahan yang sanggup membawa kita dari tempat yang gelap ke tempat yang lebih cerah. Perubahan ini dapat diraih dengan adanya revolusi yang menantang status quo. Berani berpikir dan berani mengungkapkan pendapat. Inilah prinsip kebebasan berpendapat yang harus kita jaga, sebagai aset terpenting di kehidupan bersosial. Kita ingat tentang tokoh-tokoh Belanda seperti Multatuli dan Henk van Randwijk (mantan kepala redaksi koran Vrij Nederland) yang telah membuka suara-suara genting terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Tulisan-tulisan kritikal inilah yang membawa kewaspadaan sosial-politik yang menegakkan hak asasi manusia dan kemerdekaan buat negara yang ditindas.
Setelah membaca buku Roofstaat bayang-bayang yang mencemaskan kembali memasuki pikiran saya. Contohnya adalah cerita tentang penaklukan di Bali (1906), di mana penduduk Bali berbaju putih siap bertempur, siap menjaga integritas. Untuk mereka ini bagaikan pertempuran suci. Dalam kejadian tersebut, diceritakan oleh salah satu saksi yang melihat anak bayi yang masih sibuk menyedot asi ibunya yang telah gugur berlumuran darah. Sedangkan di benua Afrika, begitu banyaknya penderitaan orang-orang Afrika yang dibawa dalam perahu-perahu besar untuk dijadikan budak tidak berhasil menyeberangi lautan samudra yang begitu luas dan ganas. Begitu juga dengan para wanita dan lelaki yang dijadikan prostitusi buat para pelaut Eropa yang bertahun-tahun berkelana jauh dari keluarga dan rumah. Banyak rampasan dari orang-orang yang ditindas kini dieksposisi di berbagai museum di Belanda dan dunia. Dan ternyata perdagangan opium (obat candu) menjadi produk jual-beli yang meningkatkan pendapatan negara. Kebanyakan pecandu opium ini merupakan pembantu dan tentara agar mereka mudah ‘dijinakkan’.
Fakta-fakta di atas ditulis secara singkat dalam paragraf-paragraf setiap bab. Tentunya, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap diperlukan referensi dari penulis sejarah lainnya. Namun, buku Roofstaat ini berhasil membuat kita merenungkan kembali tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi. Buku ini juga ditulis guna membangkitkan keberanian untuk membela kebenaran dan untuk menimbulkan kewaspadaan.
Untungnya, di balik kepentingan ekonomi dan politik beberapa penguasa masih ada yang menggunakan kompas kemanusiaan untuk melakukan kebenaran. Dalam waktu-waktu suram kita semua berharap faktor itulah yang akan muncul dalam mempertahankan keadilan sosial. Akhir kata, berlayarlah bersama Roofstaat dan temukan berbagai macam pelabuhan yang merangsang pemikiran agar kita tetap waspada atas tali nilai kemanusiaan yang kita miliki bersama.